Pengikut

Simposium PIT Paru

Simposium PIT Paru 2008
Malang, 1-2 November 2008

Kalbe.co.id - Dalam rangka Hari Kesehatan Nasional, PDPI Cabang Malang dan RSU dr. Saiful Anwar Malang mengadakan simposium dan workshop (PIT Paru 2008) yang berlangsung pada hari Sabtu-Minggu, 1-2 November 2008. Hadir dalam kegiatan simposium tersebut sebanyak ± 200 peserta, yang sebagian dari kalangan dokter spesialis paru dan PPDS paru dan sebagian lagi adalah dokter umum kebanyakan dari puskesmas. (Surabaya, Malang dan sekitarnya, serta ada yang dari Jakarta dan Kalimantan). Simposium hari pertama dibuka dengan beberapa kata sambutan dari ketua panitia, ketua PDPI cabang Malang dekan FK Universitas Brawijaya dan direktur RSU dr. Saiful Anwar Malang. Dalam simposium tersebut dibagi menjadi 3 sesi.


Sesi pertama : Lung Cancer Symposia
Pada sesi pertama ini topik yang dibicarakan antara lain :
Terapi Paliatif Ca Paru oleh Dr. Nunuk Sri Muktiati SpP(K).Tujuan terapi paliatif ini adalah meningkatkan kualitas hidup penderita kanker paru sebaik mungkin. Beliau mengatakan terapi paliatif tersebut meliputi medikamentosa, radioterapi, kemoterapi, fisioterapi dan psikososial.
Terapi Paliatif batuk:
Bila infeksi beri antibiotik, supresan batuk, ekspektoran dan fisioterapi
Bila akibat penyakit bersama (Asma/PPOK): beri bronkodilator, kortikosteroid dan fisioterapi
Bila Obstruksi saluran nafas oleh karena keganasan: beri kortikosteroid, supresan batuk, nebulasi anestesi lokal, fisioterapi
Bila batuk disertai dengan darah, harus selalu curiga patologi. Penanganannya pemberian supresan batuk, obat hemostatika, radiasi eksternal, kemoterapi.
Terapi paliatif sesak nafas:

Etiologi sesak pada pasien Ca Paru adalah :
Kanker parunya sendiri
Penyakit yang bersamaan (asma/PPOK, anemia)
Superimosed/komplikasi (infeksi, atelektase, efusi)
Iatrogenik (radiasi, kemoterapi)

Yang harus diperhatikan: atasi penyebab sesak seperti efusi, jangan menambah beban baru seperti psikososial dan finansial, dan melakukan pengkajian apakah tindakan sepadan dengan pengorbanan pasien (harapan hidup, finansial dan psikososial)
Penanganannya:
Onkologi: radiologi dan kemoterapi
Farmakoterapi : bronkodilator, kortikosteroid, respiratori simultan (progesteron sintetik), respiratori sedatif.
Terapi oksigen
Fisioterapi : perkusi dada, posturnal drainase, mukolitik, ekspektoran, hidrasi minum air.
Penanganan khusus: endobronkial, stenting saluran nafas, brachi terapi.

Terapi paliatif nyeri:Diberikan obat analgesik non opioid (asetaminofen, aspirin, ibuprofen) dan terapi adjuvan
Kemoterapi paliatif:Tujuannya mengecilkan tumor dan mempengaruhi pelepasan zat sitokin oleh tumor.Kemoterapi pada penderita kanker paru oleh Prof. DR. Dr. Benjamin PM SpP(K)Kemoterapi pada kanker paru, bisa bermanfaat pada 90% kasus kanker paru, baik sebagai kemoterapi induksi, neo-adjuvan, adjuvan, 1st line, maupun 2nd line atau lebih. Tidak bisa dipungkiri kenyataan bahwa pada saat ini kemoterapi tidak bisa menjanjikan kesembuhan dan pada fase lanjut hanya mampu memperpanjang median survival sekitar 4 bulan, namun dibanding perawatan suportif terbaik (best supportive care), masih lebih baik dalam kontrol gejala dan survival yang bisa dinikmati penderita (meaningful survival). Didasari evidence based medicine ACCP 2003 dan panduan kanker paru PDPI, maka regimen kemoterapi yang dianjurkan adalah doublet, dimana satu komponennya merupakan senyawa platinum, sejumlah 3-4 siklus, dengan persyaratan skor ECOG masih 0-1, pada skor 2 dipertimbangkan berdasarkan kasusnya. Walau otonomi penderita harus dihormati, namun tidak berarti bahwa pertimbangan medik dapat dikesampingkan. Pertimbangan medik, yaitu diagnosis histo-patologik yang pasti, skor ECOG yang memadai, penurunan berat badan tidak melebihi 10%, wajib dipatuhi sebagai pra-syarat kemoterapi.
Sesi kedua : Update in pulmonary infections

Meningitis tuberculosis oleh Dr. B. Rianawati Sp.S,
Meningitis subakut/kronis merupakan meningitis dimana onset penyakitnya lebih dari 4 minggu, dapat juga sekitar 2-8 minggu. Diantara penyebab yang paling sering adalah Mycobacterium Tuberculosa.
Onset penyakitnya terselubung serta progresif. Fokus infeksinya berada di organ lain seperti paru-paru yang kemudian menyebar ke kelenjar regional dan duktus thorasikus kemudian masuk kedalam sirkulasi darah yang akan mencapai susunan saraf pusat.
Gejala Klinis
Fase I : Onset penyakit terselubung, bertahap serta progresif. Gejala berupa subfebris, kelesuan, iritabilitas, menurunnya selera makan serta mual dan sakit kepala ringan
Faase II : Tanda rangsangan meningen (kaku kuduk, kernig, brudzinski), kelainan saraf otak (III, VI) dan kadang hemiparese, Arteritis, Eksudat yang menekan pedunkulus serebri, Hidrosepalus
Fase III : Tanda-tanda fase II, tanda neurologi fokal, konvulsi, kesadaran menurunFase IV : Tanda-tanda fase III, koma, shock Fase-fase tersebut bisa mempengaruhi prognosis
Fase III dan IV bila sembuh dapat mengalami cacat .
Penatalaksanaan:Secara garis besar dibagi menjadi
1. Pengobatan Umum.
2. Pengobatan Spesifik:Pada Meningitis Tuberkulosis dipakai 4 kombinasi tuberkulostatik yang dapat menembus BBB.
INH, dosis 400 mg/hr.
PYRAZINAMID, dosis15 – 30 mg/kgBB/hr.
Obat 1 dan 2 ini mudah menembus BBB, baik pada meningitis maupun orang normal
STREPTOMYCIN, dosis1 gr / hr (i.m)
RIFAMPISIN dosisi 15 mg/kg/hr.
Isoniazid membunuh paling banyak bacillus yang bereplikasi secara cepat dalam 2 minggu terapi, dengan beberapa bantuan tambahan dari streptomicyn dan ethambutol. Setelahnya rifampisin dan pirazinamid menjadi penting karena mereka mensterilkan lesi yang dibunuh oleh organisme. Kedua Obat ini penting dalam keberhasilan terapi 6 bulan. Rifampisin membunuh yang berada pada tempat hostile untuk penetrasi dan aksi dari obat lainPenggunaan kortikosteroid tambahan telah menjadi kontroversial sejak disarankan untuk manajemen meningitis tuberculosis (MT) lebih dari 50 tahun yang lalu. Diperkirakan kortikosteroid mengurangi inflamasi CSF yang merupakan komplikasi neurologis dan mempengaruhi waktu penyembuhan.Sebuah studi menunjukkan bahwa semua pasien dengan MT yg tidak terinfeksi HIV seharusnya diberi dexamethasone, tanpa melihat usia dan tingkat keparahan penyakit. Bagaimanapun juga, ada beberapa pertanyaan yang belum terjawab Pemberian kortikosteroid apabila didapatkan keadaan :
Penderita dalam keadaan shock
Ada tanda tanda kenaikan TIK
Ada tanda tanda araknoiditis.
Timbul tanda tanda neurologis yang progresif

Pleural Effusion Tuberculosis oleh Dr. Henny Chandrawati Mkes, SpP.
Efusi Pleura Tuberkulosis dapat terjadi sebagai manifestasi dari tuberkulosis primer atau dari reaktivasi tuberkulosis. Berbagai penelitian untuk menegakkan diagnosis mulai dari yang klasik hingga yang saat ini tengah dalam tahap penelitian maupun resistensi antimikrobial pada pengobatan terus menjadi perdebatan. Efusi Pleura Tuberkulosis dilaporkan sebagai penyebab tersering kedua dari tuberkulosis ekstra paru setelah limfadenitis tuberkulosis, yang berkisar sekitar 31%.
Pemeriksaan penunjuang untuk menegakkan adanya efusi pleura karena TB adalah dengan:
1. Tuberkulin skin test
2. Analisi cairan pleura
3. Sdenosis de aminase
4. Interferon gamma
5. Polymerase chain reaction
6. Tes kimia lainnya
7. Hapusan dan kultur sputum atau cairan pleura
8. Biopsi pleura.

Penatalaksanaannya yaitu dengan OAT, kortikosteroid ataupun pembedahan.
Selanjutnya hari kedua, dilaksanakan workshop dengan 2 pilihan tema : terapi inhalasi dan penatalaksanaan tuberkulosis.
Workshop: PENATALAKSANAAN TUBERKULOSIS
Diagnosis dan Penatalaksanaan Penderita Tuberkulosis Paru Dewasa oleh dr. Teguh Rahayu Sartono Sp.P(K)Jumlah penderita tuberkulosis paru baru di Indonesia adalah 582.000/tahun dan angka kematian akibat tuberkulosis paru di Indonesia adalah 140.000/tahun. Beberapa masalah dalam penanganan kasus Tb adalah:
Masih banyak tenaga medis atau pusat pelayanan kesehatan yang tidak melaksanakan terapi Tb secara kombinasi, kontinyu, dan terapi jangka panjang.
Adanya penyakit penyerta seperti DM, malnutrisi, hepatitis akibat penggunaan obat, gangguan fungsi ginjal.
Terjadi komplikasi sebagai efek samping penggunaan obat OAT.
Komplikasi dari Tb yaitu batuk darah, efusi pleura, dan pneumotorak
TB ekstra pulmonar
Infeksi HIV-AIDS
Terjadinya MDR TB
Terapi kausatif TB berdasarkan program DOTS adalah:
Kategori I : 2 RHEZ / 4RH (4R3H3)
Yang termasuk didalamnya: kasus baru, BTA (+), foto torak: lesi berat, TB ekstra paru berat.
Kategori II: 2 RHEZ / RHEZS / 5 RH (5R3H3)
Termasuk di dalamnya: gagal terapi, DO, after default
Kategori III: 2 RHZ / 4 RH (4R3H3)
Termasuk di dalamnya: BTA (-), foto torak lesi ringan, TB ekstra paru ringan (KGB, kulit)
Kategori IV : OAT lini ke 2 + OAT masih sensitif
Terapi kausatif untuk penderita TB khusus:
Ibu hamil : regimen sama tanpa S
Ibu menyusui : regimen sama
Penderita HIV : regimen sama
TB + hepatitis akut :
ZRH : hepatotoksik, stop obat
OAT ditunda sampai hepatitis membaik atau diberi 3 SE / 6RH
Gangguan Hepar kronis
SGOT, SGPT meningkat > 3 kali : OAT stop
SGOT, SGPT meningkat <>
Gangguan ginjal
2 RHZ / 6 RH tanpa SE
TB + DM
2RHEZ / 4 RH , E hati-hati
Regulasi gula : diet, insulin

Standard International untuk Pelayanan Tuberkulosis (ISTC) oleh dr Yani F Sugiri
Beliau memperkenalkan ISTC ini sebagai pedoman / panduan pelayanan tuberculosis. Terdapat 6 standar diagnosis TB, 9 standar terapi TB, 2 standar yang ditujukan kepada tenaga medis atau orang yang memberikan terapi TB dalam bentuk tanggung jawab kesehatan masyarakan.
Diagnosis dan Tatalaksanaan TB pada anak Oleh dr. Lucia Landia spA.
TB anak merupakan 5-15% dari seluruh kasus TB. Seorang anak dapat terinfeksi TB tanpa menjadi sakit TB dimana terdapat uji tuberkulin positif tanpa ada kelainan klinis, radiologis dan laboratoris. TB primer pada anak kurang membahayakan masyarakat karena kebanyakan tidak menular, tetapi bagi anak itu sendiri cukup membahayakan, oleh karena dapat menimbulkan TB ekstratorakal yang sering kali menjadi sebab kematian, kecacatan, TB milier, meningitis TB dan TB tulang.
Masalah yang dihadapi dalam penanggulangan TB anak meliputi sulitnya menegakkan diagnosis, lamanya pengobatan, evaluasi pengobatan, belum adanya vaksin yang benar-benar dapat melindungi anak dari TB serta meningkatkan insiden infeksi HIV-AIDS.
Gejala spesifik TB sesuai organ:
TB kulit / skrofuloderma
TB tulang dan sendi
TB otak dan saraf
TB mata
TB pada organ lain.
Bila didapat gejala seperti diatas harus dibuktikan bahwa TB sebagai penyebabnya.
Sebagai deteksi dini dapat dilakukan uji tuberkulin pada anak balita secara rutin, namun saat ini masih sulit dilakukan karena membutuhkan biaya yang cukup besar.
Unit kerja koordinasi respirologi pengurus pusat IDAI telah menyusun algoritma deteksi TB anak, mulai ditingkat keluarga samppai rumah sakit, menggunakan sistem penilaian (skor) gejala dan pemeriksaan penunjang TB.
Penatalaksanaan TB terutama terapi TB anak menggunakan OAT sesuai dengan dosis pada anak. Penggunaan FDC sangat membantu kepatuhan anak menum obat.
Keuntungan penggunaan FDC dalam pengobatan TB adalah sbb:
Menyederhanakan pengobatan dan mengurangi kesalahan penulisan obat
Meningkatkan penerimaan dan kepatuhan pasien
Memungkinkan petugas kesehatan memberikan pengobatan standar dengan tepat
Mempermudah pengelolaan obat
Mengurangi kesalahan penggunaan obat
Mengurangi kegagalan pengobatan
Pengawasan minum obat menjadi lebih mudah
Mempermudah menentuan dosis berdasarkan berat badan

0 komentar: