PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronik) merupakan masalah kesehatan umum dan menyerang sekitar 10% penduduk usia 40 tahun ke atas. Jumlah kasus PPOK ini memiliki kecenderungan untuk meningkat, dimana menurut WHO pada tahun 2020 diperkirakan bahwa PPOK akan menjadai penyebab ke-3 ketidakmampuan (disability) di dunia, disampaikan oleh beberapa pembicara pakar dibidang respiratori saat mempresentasikan makalahnya pada acara Konferensi Kerja Pertemuan Ilmiah Berkala PERAPI 2006, di Bandung Desember ini. PPOK merupakan suatu kelainan penyempitan saluran napas, dan berhubungan dengan kelainan respon inflamasi yang berlangsung secara kronik. Gejala klinis dari PPOK adalah batuk kronik terutama pada penderita perokok dan terpapar gas/partikel polutan, produksi sputum yang meningkat, sesak napas (karakteristik pada PPOK adalah membutuhkan usaha atau tenaga lebih untuk bernapas, terengah-engah, persisten dan progresif, serta jika sudah berat menggunakan otot-otot bantu napas). Diagnosis pasti ialah dengan pemeriksaan spirometri, terutama setelah pemberian bronkodilatator. Menurut American Thoracic Society (ATS), faktor risiko terjadinya PPOK adalah: - Faktor host : faktor genetik, jenis kelamin, dan anatomi saluran napas - Faktor exposure : merokok, status sosioekonomi, hipereaktivitas saluran napas, pekerjaan, polusi lingkungan, kejadian saat perinatal, infeksi bronkopulmoner rekuren, dll. Gambaran klinis sistemik PPOK dapat berupa penurunan berat badan, disfungsi otot-otot skelet dan kelainan sistemik yang bersifat potensial. Penurunan berat badan akibat adanya ketidaksesuaian intake kalori, oleh karena pada pasien PPOK terjadi peningkatan metabolisme basal. Peningkatan metabolisme basal ini akibat adanya inflamasi sistemik, hipoksia jaringan dan pemakaian obat-obatan pada pasien PPOK (misalnya beta-2 agonis). Adanya disfungsi otot skelet dapat menyebabkan penurunan kualitas hidup penderita karena akan membatasi kapasitas latihan dai pasien PPOK. Disfungsi ini terjadi akibat perubahan gaya hidup pasien PPOK (aktivitas fisik yang menurun karena pasien mudah sesak), kelainan nutrisi, hipoksia jaringan, apoptosis otot skelet, stres oksidatif, rokok, kepekaan individu, perubahan hormon, perubahan elektrolit, kelaiana regulasi nitrit oksida, dan obat-obatan. Gambaran sistemik dari PPOK antara lain dapat meningkatkan prevalensi depresi dan prevalensi osteoporosis. Osteoporosis dapat terjadi pada penderita PPOK karena adanya malnutrisi, perubahan pola hidup, prokok, terapi steroid dan inflamasi sistemik. Pemberian bronkodilator (beta-2 agonis atau anti-kolinergik) merupakan terapi utama pada kasus PPOK. Global initiative for chronic obstructive lung disease (GOLD) telah merekomendasikan pemberian bronkodilator sebagai obat utama dalam penatalaksanaan PPOK, disamping obat golongan lain seperti inhalasi glukokortikoid, antioksidan dan lainnya. Bronkodilatator dapat diberikan secara insidentil, ataupun diberikan secara reguler dan lebih disukai ialah dalam bentuk inhalasi. Pemakaian antioksidan yang direkomendasikan oleh Internasional dan nasional guideline adalah N-acetylcysteine (NAC). NAC selain sebagai agen mukolitik, juga berperan sebagai antioksidan dan anti-inflamasi, serta imunomodulator. NAC sebagai agen mukolitik bekerja dengan cara menghancurkan/memecah jembatan disulfida dari makromolekul mukoprotein yang terdapat dalam sekresi bronkial, sehingga mukus menjadi lebih encer, serta bekerja dengan cara memperbaiki kerja silia saluran napas. Dengan adanya kerja silia yang membaik ini, maka akan sedikit mukus yang melekat pada epitel dan menyebabkan penetrasi antibiotika ke dalam jaringan akan meningkat, dan hal ini akan mengurangi kolonisasi bakteri. Efek ini dikenal sebagai anti adherens bacteria dari NAC. NAC sebagai antioksidan akan menjadi prekursor glutation (antioksidan) karena NAC mudah untuk berpenetrasi kedalam sel dan diasetilasi menjadi sistein. Sistein ini berperan terhadap sintesis glutation. Selain berperan secara tidak langsung sebagai antioksidan, peranan NAC secara langsung sebagai antioksidan adalah membawa gugus tiol (gugus SH) bebas yang dapat berinteraksi dengan gugus elektrofilik ROS. Peranan NAC sebagai anti-inflamasi yaitu menghambat pelepasan sitokin pro-inflamasi, dan sebagai imunomodulator dengan cara meningkatkan fungsi sel-sel imunitas seperti limfosit dan makrofag terhadap radikal bebas dan bakteri atau benda asing. Uji klinis NAC pada PPOK yang melibatkan 1392 pasien membuktikan bahwa pemberian NAC dapat mengurangi viskositas ekspektorasi, memudahkan ekspektorasi, dan mengurangi derajat keparahan batuk. Terapi lain yang saat ini sedang diteliti peranannya dalam PPOK adalah anti-TNF alpha (telah ditunjukan efektif pada penyakit inflamasi kronis seperti artritis reumatoid) dan penghambat iNOS.
Penatalaksanaan PPOK
Diposting oleh Aep Saepudin
Label:
Artikel Kedokteran
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
apa efek samping yang di timbulkan.............................
Posting Komentar