Deskripsi
- Nama & Struktur Kimia : Serum anti bisa ular polivalen (kuda)
- Sifat Fisikokimia : -
- Keterangan : Serum polivalen yang berasal dari plasma kuda yang dikebalkan terhadap bisa ular yang memiliki efek neurotoksik (ular jenis Naja sputatrix - ular kobra, Bungarus fasciatus - ular belang) dan hemotoksik (ular Ankystrodon rhodostoma - ular tanah).
Golongan/Kelas Terapi
Obat Yang mempengaruhi Sistem Imun
Nama Dagang
-
Indikasi
Untuk pengobatan terhadap gigitan ular berbisa
Dosis, Cara Pemberian dan Lama Pemberian
Pemilihan anti bisa ular tergantung dari spesies ular yang menggigit. Dosis yang tepat sulit untuk ditentukan karena tergantung dari jumlah bisa ular yang masuk peredaran darah korban dan keadaan korban sewaktu menerima anti serum. Dosis pertama sebanyak 2 vial @ 5 ml sebagai larutan 2% dalam garam faali dapat diberikan sebagai infus dengan kecepatan 40 - 80 tetes per menit, kemudian diulang setiap 6 jam. Apabila diperlukan (misalnya gejala-gejala tidak berkurang atau bertambah) anti serum dapat terus diberikan setiap 24 jam sampai maksimum (80 - 100 ml). Anti serum yang tidak diencerkan dapat diberikan langsung sebagai suntikan intravena dengan sangat perlahan-lahan. Dosis anti serum untuk anak-anak sama atau lebih besar daripada dosis untuk dewasa.
Farmakologi
-
Stabilitas Penyimpanan
Disimpan pada suhu 2 - 8°C dalam lemari es, jangan dalam freezer. Daluarsa = 2 tahun.
Kontraindikasi
Tidak ada kontraindikasi absolut pada terapi anti bisa ular untuk envenoming sistemik yang nyata; terapi diperlukan dan biasanya digunakan untuk menyelamatkan jiwa.
Efek Samping
1. Reaksi anafilaktik; jarang terjadi, tetapi bila ada timbulnya dapat segera atau dalam waktu beberapa jam sesudah suntikan.
2. Serum sickness; dapat timbul 7-10 hari setelah suntikan berupa demam, gatal-gatal, eksantema, sesak napas dan gejala alergi lainnya.
3. Demam disertai menggigil yang biasanya timbul setelah pemberian serum secara intravena.
4. Rasa nyeri pada tempat suntikan; yang biasanya timbul pada penyuntikan serum dalam jumlah besar. Reaksi ini biasanya terjadi dalam 24 jam.
Interaksi
- Dengan Obat Lain : Belum ada interaksi signifikan yang dilaporkan.
- Dengan Makanan : -
Pengaruh
- Terhadap Kehamilan : Tidak ada data mengenai penggunaan anti bisa ular pada kehamilan. Keuntungan penggunaan terhadap ibu dan bayi melebihi kemungkian risiko penggunaan serum anti bisa ular.
- Terhadap Ibu Menyusui : Tidak ada data. Keuntungan pengunaan terhadap ibu melebihi kemungkinan risiko pada bayi.
- Terhadap Anak-anak : Anak-anak mempunyai risiko yang lebih besar terhadap envenoming yang parah karena massa tubuh yang lebih kecil dan kemungkinan aktivitas fisik yang lebih besar. Anak-anak membutuhkan dosis yang sama dengan dewasa, dan tidak boleh diberikan dosis anak berdasarkan berat badan (pediatric weight-adjusted dose);disebabkan hal ini dapat menimbulkan perkiraan dosis yang lebih rendah. Jumlah serum anti bisa ular yang diperlukan tergantung dari jumlah bisa ular yang perlu dinetralisasi bukan berat badan pasien
- Terhadap Hasil Laboratorium : -
Parameter Monitoring
Monitor efek dari serum anti bisa ular baik secara klinis maupun laboratorium. Monitor efek samping setelah administrasi serum anti bisa ular. Monitoring yang diperlukan dapat berbeda tergantung dari jenis ular yang menggigit. Bila ragu-ragu mengenai jenis ular yang menggigit, monitor coagulopathy, flaccid paralysis, myolysis dan fungsi ginjal.
Bentuk Sediaan
Vial 5 ml, Tiap ml Sediaan Dapat Menetralisasi :
10-15 LD50 Bisa Ular Tanah (Ankystrodon Rhodostoma)
25-50 LD50 Bisa Ular Belang (Bungarus Fasciatus)
25-50 LD50 Bisa ular kobra (Naja Sputatrix), dan mengandung fenol 0.25% v/v
Peringatan
Karena tidak ada netralisasi-silang (cross-neutralization) serum antibisa ular ini tidak berkhasiat terhadap gigitan ular yang terdapat di Indonesia bagian Timur (misalnya jenis-jenis Acanthopis antarticus, Xyuranus scuttelatus, Pseudechis papuanus dll) dan terhadap gigitan ular laut (Enhydrina cysta).
Kasus Temuan Dalam Keadaan Khusus
-
Informasi Pasien
Informasikan pada pasien mengenai kemungkinan efek samping yang tertunda, terutama serum sickness (demam, rash, arthralgias).Tindakan pertama pada gigitan ular:
1. Luka dicuci dengan air bersih atau dengan larutan kalium permanganat untuk menghilangkan atau menetralisir bisa ular yang belum terabsorpsi.
2. Insisi atau eksisi luka tidak dianjurkan, kecuali apabila gigitan ular baru terjadi beberapa menit sebelumnya. Insisi luka yang dilakukan dalam keadaan tergesa-gesa atau dilakukan oleh orang yang tidak berpengalaman justru seing merusak jaringan dibawah kulit dan akan meninggalkan luka parut yang cukup besar.
3. Anggota badan yang digigit secepatnya diikat untuk menghambat penyebaran racun.
4. Lakukan kemudian imobilisasi anggota badan yang digigit dengan cara memasang bidai karena gerakan otot dapat mempercepat penyebaran racun.
5. Bila mungkin anggota badan yang digigit didinginkan dengan es batu.
6. Penderita dilarang untuk bergerak dan apabila perlu dapat diberikan analgetika atau sedativa.
7. Penderita secepatnya harus dibawa ke dokter atau rumah sakit yang terdekat untuk menerima perawatan selanjutnya.
Mekanisme Aksi
-
Monitoring Penggunaan Obat
-
Daftar Pustaka
Vademecum Bio Farma; 2002
Australia Medicines Handbook; 2004
Sumber: http://diskes.jabarprov.go.id/index.php?mod=pubInformasiObat&idMenuKiri=45&idSelected=1&idObat=166&page=7
SERUM ANTI BISA ULAR
Diposting oleh Aep SaepudinSTANDAR INTERNASIONAL UNTUK PENANGGULANGAN TB
Diposting oleh Aep Saepudin
International Standard for Tuberculosis Care (ISTC) merupakan standar yang melengkapi guideline program penanggulangan tuberkulosis nasional yang konsisten dengan rekomendasi WHO. Standar tersebut bersifat internasional dan baru di launching pada bulan Februari 2006 dan direvisi 2009 serta dilaksanakan di Indonesia
International Standard for Tuberculosis Care (ISTC) terdiri dari 21 standar yaitu 6 standard untuk diagnosis, 7 standard untuk pengobatan, 4 standard untuk penanganan TB-HIV dan 4 standard yang berhubungan dengan kesehatan masyarakat. Adapun ke 21 standar tersebut adalah :
STANDARD UNTUK DIAGNOSIS
1. Setiap individu dengan batuk produktif selama 2-3 minggu atau lebih yang tidak dapat dipastikan penyebabnya harus dievaluasi untuk tuberkulosis.
2. Semua pasien yang diduga penderita TB paru ( dewasa, remaja dan anak-anak yang dapat mengeluarkan dahak) harus menjalani pemeriksaan sputum secara mikroskopis minimal 2 kali di lab yang kualitasnya terjamin. Bila memungkinkan minimal 1 kali pemeriksaan berasal dari sputum pagi hari
3. Semua pasien yang diduga tenderita TB ekstraparu ( dewasa, remaja dan anak ) harus menjalani pemeriksaan bahan yang didapat dari kelainan yang dicurigai. Bila tersedia fasiliti dan sumber daya, juga harus dilakukan biakan dan pemeriksaan histopatologi
4. Semua individu dengan foto toraks yang mencurigakan ke arah TB harus menjalani pemeriksaan dahak secara mikrobiologi
5. Diagnosis TB paru, BTA negatif harus berdasarkan kriteria berikut : negatif paling kurang pada 3(2) kali pemeriksaan (termasuk minimal 1 kali terhadap dahak pagi hari), foto toraks menunjukkan kelainan TB, tidak ada respons terhadap antibiotik spektrum luas (hindari pemakaian flurokuinolon karena mempunyai efek melawan M.tb sehingga memperlihatkan perbaikan sesaat). Bila ada fasiliti, pada kasus tersebut harus dilakukan pemeriksaan biakan. Pada pasien dengan atau di duga HIV, evaluasi diagnostik harus disegerakan dan jika bukti klinis sangat mendukung ke arah TB, pengobatan harus dimulai
6. Pada anak yang diduga menderita TB intratoraks (paru,pleura, KGB hilus/mediastinal ) sesuai dengan TB dan terdapat riwayat kontak atau uji tuberkulin/interferon gamma release assay positif. Pada pasien demikian, bila ada fasiliti harus dilakukan pemeriksaan biakan dari bahan yang berasal dari batuk, bilasan lambung atau induksi sputum.
STANDARD UNTUK PENGOBATAN
7. Setiap petugas yang mengobati pasien TB dianggap menjalankan fungsi kesehatan masyarakat yang tidak saja memberikan paduan obat yang sesuai tetapi juga dapat memantau kepatuhan berobat sekaligus menemukan kasus-kasus yang tidak patuh terhadap rejimen pengobatan. Dengan melakukan hal tersebut akan dapat menjamin kepatuhan hingga pengobatan selesai
8. Semua pasien (termasuk pasien HIV) yang belum pernah diobati harus diberikan panduan obat lini pertama yang disepakati secara internasional menggunakan obat yang biovaibilitinya sudah diketahui. Fase awal terdiri dari INH, rifampisin, pirazinamid dan etambutol diberikan selama 2 bulan. Fase lanjutan yang dianjurkan adalah INH dan rifampisin yang selama 4 bulan.
Pemberian INH dan etambutol selama 6 bulan merupakan paduan alternatif untuk fase lanjutan pada kasus yang keteraturannya tidak dapat dinilai tetapi terdapat angka kegagalan dan kekambuhan yang tinggi dihubungkan dengan pemberian alternatif tersebut diatas khususnya pada pasien HIV.
Dosis obat antituberkulosis ini harus mengikuti rekomendasi internasional. Fixed dose combination yang terdiri dari 2 obat yaitu INH dan rifampisin ,yang terdiri dari 3 obat yaitu INH, rifampisin, pirazinamid dan yang terdiri dari 4 obat yaitu INH, rifampisin, pirazinamid dan etambutol sangat dianjurkan khususnya bila tidak dilakukan pengawasan langsung saat menelan obat.
Pengukuran ini dibuat khusus untuk keadaan masing-masing individu dan dapat diterima baik oleh pasien maupun pemberi pelayanan. Pengukuran tersebut salah satunya termasuk pengawasan langsung minum obat oleh PMO ( untuk TB dan jika memungkinkan untuk HIV ) yang dapat diterima oleh pasien dan sistem kesehatan serta bertanggung jawab kepada pasien dan sistem kesehatan.
10. Respons terapi semua pasien harus dimonitor. Pada pasien TB paru penilaian terbaik adalah dengan pemeriksaan sputum ulang (2x) paling kurang pada saat menyelesaikan fase awal (2 bulan), bulan kelima dan pada akhir pengobatan. Pasien dengan BTA+ pada bulan kelima pengobatan dianggap sebagai gagal terapi dan diberikan obat dengan modifikasi yang tepat (sesuai standar 14 dan 15).
Penilai respons terapi pada pasien TB paru ekstra paru dan anak-anak, paling baik dinilai secara klinis.Pemeriksaan foto toraks untuk evaluasi tidak diperlukan dan dapat menyesatkan (misleading).
11. Penilaian kemungkinan resistensi obat, berdasarkan riwayat pengobatan terdahulu, pajanan dengan sumber yang mungkin resisten obat dan prevalensi resistensi obat dalam masyarakat seharusnya dilakukan pada awal pengobatan untuk semua pasien. Uji sensiviti obat seharusnya dilakukan pada awal pengobatan untuk semua pasien yang sebelumnya pernah diobati.
Pasien yang apus dahak tetap positif setelah pengobatan tiga bulan selesai dan pasien gagal pengobatan, putus obat, atau kasus kambuh setelah pengobatan harus selalu dinilai terhadap resistensi obat.
Untuk pasien dengan kemungkinan resistensi obat, biakan dan uji sensitiviti/resistensi obat setidaknya terhadap isoniazid dan rifampisin seharusnya dilaksanakan segera untuk meminimilkan kemungkinan penularan.
Cara-cara pengenalian infeksi yang memadai seharusnya dilakukan sesuai tempat pelayanan.
12. Pasien yang menderita atau kemungkinan besar menderita tuberkulosis yang disebabkan kuman resisten obat (khususnya MDR/XDR) seharusnya diobati dengan panduan obat khusus yang mengandung obat anti tuberkulosis lini kedua. Panduan obat yang dipilih dapat distandarisasi atau sesuai pola sensitiviti obat berdasarkan dugaan atau yang telah terbukti. Paling tidak harus digunakan empat obat yang masih efektif, termasuk obat suntik, harus diberikan paling tidak 18 bulan setalah konversi biakan. Cara-cara yang berpihak kepada pasien disyaratkan untuk memastikan kepatuhan pasien terhadap pengobatan. Konsultasi dengan penyelenggara pelayanan yang berpengalaman dalam pengobatan pasien dengan MDR/XDR TB harus dilakukan
13. Rekaman tertulis tentang pengobatan yang diberikan, respons bakteriologis, dan efek samping seharusnya disimpan untuk semua pasien.
STANDAR UNTUK PENANGANAN INFEKSI HIV DAN KONDISI KOMORBID LAIN
14. Uji HIV dan konseling harus dirokemendasikan pada semua pasien yang menderita atau yang diduga menderita tuberkulosis. Pemeriksaan ini merupakan bagian penting dari manajemen rutin bagi semua pasien di daerah dengan prevalensi infeksi HIV yang tinggi dalam polulasi umum, pasien dengan gejala dan/atau tanda kondisi yang berhubungan HIV, dan pasien dengan riwayat risiko tinggi terpajan HIV. Mengingat terdapat hubungan yang erat antara tuberkulosis dan infeksi HIV, pada daerah dengan prevalensi yang tinggi pendekatan yang terintegrasi direkomendasikan untuk pencegahan dan penatalaksanaan kedua infeksi.
15. Semua pasien dengan tuberkulosis dan infeksi HIV seharusnya dievaluasi untuk menentukan perlu/tidaknya pengobatan anti retroviral diberikan selama masa pengobatan tuberkulosis. Perencanaan yang tepat untuk mengakses obat anti retroviral seharusnya dibuat untuk pasien yang memenuhi indikasi. Bagaimanapun juga pelaksanaan pengobatan tuberkulosis tidak boleh ditunda. Pasien tuberkulosis dan infeksi HIV juga seharusnya diberi kotrimoksazol sebagai pencegahan infeksi lainnya.
16. Pasien dengan infeksi HIV yang, setelah dievaluasi dengan seksama, tidak menderita tuberkulosis aktif seharusnya diobati sebagai infeksi selama 6-9 bulan.
17.Semua penyelenggara kesehatan harus melakukan penilaian yang menyeluruh terhadap kondisi komorbid yang dapat mempengaruhi respons atau hasil pengobatan tuberkulosis. Saat rencana pengobatan mulai diterapkan, penyelenggara kesehatan harus mengidentifikasi layanan-layanan tambahan yang dapat mendukung hasil yang optimal bagi semua pasien dan menambahkan layanan-layanan ini pada rencana penatalaksanaan. Rencana ini harus mencakup penilaian dan perujukan pengobatan untuk penatalaksanaan penyakit lain dengan perhatian khusus pada penyakit-penyakit yang mempengaruhi hasil pengobatan, seperti diabetes mellitus,
Program berhenti merokok, dan layanan pendukung psikososil lain, atau layanan-layanan seperti perawatan selama masa kehamilan atau setelah melahirkan.
STANDAR UNTUK KESEHATAN MASYARAKAT
18. Semua penyelenggara pelayanan untuk pasien tuberkulosis seharusnya memastikan bahwa semua orang yang mempunyai kontak erat dengan pasien tuberkulosis menular seharusnya dievaluasi dan ditatalaksana sesuai dengan rekomendasi internasional. Penentuan prioritas penyelidikan kontak didasarkan pada kecendrungan bahwa kontak :
1) menderita tuberkulosis yang tidak terdiagnosis;
2) berisiko tinggi menderita tuberkulosis berat jika terinfeksi;
3) berisiko menderita tuberkulosis berat jika penyakit berkembang; dan
4) berisiko tinggi terinfeksi oleh pasien.
Prioritas tertinggi evaluasi kontak adalah :
– Orang dengan gejala yang mendukung ke arah tuberkulosis
– Anak berusisa <5 tahun – Kontak yang menderita atau diduga menderita imunokompromais, khususnya infeksi HIV – Kontak dengan pasien MDR/XDR TB. Kontak erat lainnya merupakan kelompok prioritas yang lebih rendah. 19. Anak berusia <5 tahun dan individu semua usia dengan infeksi HIV yang memiliki kontak erat dengan pasien tuberkulosis dan setelah dievaluasi dengan seksama, tidak menderita tuberkulosis aktif, harus diobati sebagai infeksi laten tuberkulosis dengan isoniazid. 20. Setiap fasiliti pelayanan kesehatan yang menangani pasien yang menderita atau diduga menderita tuberkulosis harus mengembangkan dan menjalankan rencana pengendalian infeksi tuberkulosis yang memadai. 21. Semua penyelenggara pelayanan kesehatan harus melaporkan kasus tuberkulosis baru maupun kasus pengobatan ulang serta hasil pengobatannya ke kantor Dinas kesehatan setempat sesuai dengan peraturan hukum dan kebijaksanaan yang berlaku. Sumber : Materi dalam Simposium TB Update di Pandeglang 08 April 2010 yang dibawakan oleh Dr. Hj. Tintin Martini,Sp.P sebagai pembicara.